Disclaimer

Welcome to my writerland. :D Yeah, as you know. Writerland its not real, its just my imagination for my place hobby-writing. So, don't think anything again, just read my story. And don't forget to comment, your comment is very important for me. :D

Minggu, 22 Januari 2012

When The Raining Falls(projectnya @proyekmenulis)

When The Raining Falls
Tahukah kau yang disana? Ketika rintik-rintik hujan turun perlahan membasahi semua yang ada di bumi ini, maka seketika itu pula semua kenangan yang pernah kita lewati bersama berputar kembali di dalam benakku layaknya sebuah proyektor film bioskop yang sedang diputar untuk para penontonnya. Mungkin kau tidak dan tidak akan pernah tahu akan hal itu, selamanya. Biarlah hanya aku, hujan, dan Tuhan yang tahu akan perasaanku padamu.  Aku tidak ingin mengungkapkan perasaanku padamu, karena kau telah bersamanya. Aku tidak ingin menghancurkan hubunganmu dengan gadis pujaanmu, aku juga tidak ingin menghancurkan tali persahabatan yang telah kita jalin sejak lama.

***

Aku termenung sambil menengadahkan kedua tanganku dan mengumpulkan setiap tetes air hujan yang turun. Tak peduli pada seragam dan tas sekolahku yang basah terguyur hujan yang lumayan deras kali. Mungkin kalian akan menganggapku aneh atau apa karena disaat seperti ini banyak orang yang mencari tempat berteduh tetapi aku malah terduduk dan seolah asyik pada hujan. Aku tidak peduli akan hal itu, yang aku tahu hujan bisa membuatku merasa jauh lebih baik.

“Cha? Kok ujan-ujanan lagi sih? Nanti kalo lo sakit lagi gimana? Hobi banget ujan-ujanan.”

Aku mendongakkan wajahku ke arah sesosok pemuda yang sudah tidak asing lagi bagiku. Tubuh tegap nan atletis serta wajahnya yang bisa dibilang lumayan tampan tidak akan pernah mau lepas dari kepalaku. Ya, dialah yang kubicarakan. Orang yang telah membuatku jatuh ke dalam lembah bernama cinta, tetapi aku tidak berani mengungkapkan perasaanku. Aku tidak mementingkan egoku seperti orang lain yang sedang jatuh cinta, aku lebih mementingkan kisah percintaan pemuda itu dengan gadis lain dan kisah persahabatan kami. Biarlah selamanya dia tak tahu akan perasaanku, biarlah selamanya aku menjadi secret admirernya dalam hati.

“Hehhe,” Aku hanya bisa menjawab dengan cengiran ala kudaku.

“Dasar!”

Kini tubuh atletis itu memjulurkan payung yang dipegangnya keatas kepalaku, merelakan tubuhnya basah kuyup kehujanan. Padahal aku sama sekali tidak memintanya untuk melakukan hal itu. Perasaanku padanya semakin memuncak, dan ingin sekali rasanya aku menyatakan perasaanku ini agar batinku tidak terus-terusan tersiksa. Namun akal sehatku melarangnya dan bisa meredam keinginanku yang satu itu.

“Pulang yuk!” Dia menggandeng tanganku dan berniat mengajakku pulang. Tetapi dengan cepat kutepis tangannya itu dan memberinya isyarat kalau aku tidak mau pulang sekarang.

“Hhh.. Yaudah kalo nggak mau pulang sekarang. Oh iya Cha, btw kenapa sih lo suka banget ujan-ujanan kayak gini? Kan bisa bikin lo sakit.” Dia mulai duduk bersanding denganku.

“Bukannya gue udah pernah kasih tau ke elo ya Vin waktu itu? Yaudah, gue ulang. Karena ujan itu bisa bikin gue merasa jauh lebih baik kalo lagi galau.” Aku tersenyum tipis.

“Ooh.. Berarti sekarang lo lagi galau ya? Galau karena apa? Cinta? Cerita dong, pengen tau nih gue.”

“Bisa dibilang iya, tapi lo nggak perlu tau kok dan gue mau cerita ke elo. Eh, Vin, pulang yuk! Takut diomelin mama gue.” Aku mulai bangkit dari dudukku.

“Kenapa gue nggak perlu tau Cha? Gue kan sahabat lo!”

“Ya karna lo sahabat gue makanya gue nggak mau elo tau, Vin. Biarin gue, ujan, sama Tuhan aja yang tau.” Aku tersenyum simpul.

“Oke, jadi gitu sekarang. Udah main rahasia-rahasiaan sama gue?”

“Udah ah! Ayo pulang, Vin!” Aku menarik tangannya.

Diapun mengikuti jejakku, mulai bangkit dari duduknya. Kemudian kami berjalan menyusuri jalan setapak taman kompleks hingga sampai kerumah kami yang kebetulan bersebelahan. Selama perjalanan pulang, kami tidak berbicara sepatah katapun. Sibuk dengan pikiran kami masing-masing.

***

“Acha, ada Kevin nak.” Suara mama terdengar dari balik pintu kamarku.

Aku terperanjat pelan. Lalu aku segera ingat kalau kami adalah sahabat, jadi wajar saja kalau Kevin sering main kerumahku. Terlebih lagi, rumahnya bersebelahan dengan rumahku. Tapi kali ini aku tidak berniat untuk menemuinya. Menatap wajahnya bisa membuatku kalap untuk segera menyatakan perasaanku padanya, dan aku tidak ingin itu terjadi.

“Bilang sama Kevin Acha lagi nggak enak badan ma, suruh dia pulang aja.” Bohong, tentu saja aku berbohong pada mama. Aku tidak sakit seperti yang barusan kubilang, aku hanya tidak ingin bertemu dengan Kevin.

Akhirnya kukunci pintu kamarku setelah meyakinkan pada mama bahwa aku baik-baik saja dan hanya butuh istirahat. Aku termenung di pinggir tempat tidur sambil menatap ke luar jendela, Tiba-tiba ponselku berbunyi, kupandangi sang pengirim pesan yang tertera di layar ponselku. Kevin. Dengan segera kubuka isi pesan yang dikirimkan Kevin dan membacanya dengan seksama.

Cha, gue tunggu lo di taman biasa.
Pliss dateng Cha, ada yang mau gue omongin sama lo.

Aku mematikan ponselku dan menaruhnya di bawah bantal. Kubaringkan badanku, kemudian tertidur dengan mata sembab dan wajah basah karena air mata. Suara ketukan mama yang keras membangunkanku dua jam kemudian.  Suaranya terdengar panik dan sedikit bergetar, suara derasnya hujan diluar sana semakin menambah kebingunganku kenapa mama begitu panik seperti itu. Akhirnya aku membukakan pintu kamar dan membiarkan mama masuk ke dalam kamar.

“Cha, Kevin katanya belum pulang sejak tadi kesini. Orang rumahnya khawatir dan nelpon kesini, kamu tau nggak Kevin dimana? Kalo kamu tau, tolong cari ya Cha! Kasian orangtuanya Kevin.” Ujar mama dengan suara panik.

Aku terdiam sejenak, kemudian teringat pada pesan yang tadi Kevin kirimkan padaku. Ya, aku sudah tahu harus mencari Kevin kemana. Aku langsung melewati mamaku, menuruni satu-persatu anak tangga dan menuju taman tempat biasa kami berkumpul. Jantungku berdegup kencang, takut terjadi sesuatu pada Kevin. Kutepiskan semua rasa takut dan kekhawatiranku itu, tapi entah mengapa rasa itu tidak mau hilang juga. Aku semakin bertambah kalut saja.

Di tengah perjalanan aku melihat orang-orang berkumpul mengelilingi sesuatu, sepertinya korban tabrak lari. Karena penasaran, aku menerobos orang-orang yang ada di sekitarku. Betapa kagetnya aku saat melihat si korban tabrak lari, seseorang yang ingin aku cari. Ya, korban tabrak lari itu ternyata Kevin. Jadi ini sebabnya ia tidak pulang kerumahnya.

“KEVIN!!” Aku berusaha menyadarkan Kevin meskipun ku tahu Kevin sedang sekarat. Kemudian aku berteriak pada semua orang yang ada disekitarku untuk segera memanggil ambulan.

“Vin, bangun Vin. Ini semua salah gue. Coba aja tadi gue dateng ke taman itu, pasti lo nggak akan kayak gini Vin. Ini semua salah gue, gue bukan sahabat yang baik Vin. Maafin gue.” Air mataku mengalir deras.

“Enggak Cha, ini semua bukan salah lo. Oh iya, soal yang mau gue omongin sama lo itu.. Gue suka sama lo Cha, dan gue baru sadar itu sekarang. Lo juga suka sama gue kan, Cha?” Balas Kevin dengan nafas yang tersenggal-senggal dan terbata-bata tentunya.

Aku terdiam, semburat merah muda muncul lagi di pipiku. Jadi Kevin juga menyukaiku? Oh, Tuhan. Andai aku menemuinya sejak tadi, pasti semuanya tidak akan jadi seperti ini. Rasa bersalahku semakin bertambah besar sekarang.

“Cha, kalo lagi ujan jangan galau lagi ya? Inget gue aja. Bisa kan?” Pinta Kevin sambil menggenggam erat tanganku.

Air mataku bertambah deras ketika kedua kelopak mata Kevin mulai menutup perlahan, dan tangannya mulai tidak menggenggam tanganku lagi. Dia telah pergi, meningalkanku selamanya. Aku berharap ini semua hanya bunga tidur dan aku segera terbangun dari mimpi burukku, tetapi semua ini nyata. Aku telah kehilangan sahabat sekaligus kekasih hatiku.

Tak berapa lama kemudian, ambulans datang dan membawa jasad Kevin kerumah sakit. Aku tak tahu bagaimana harus menjelaskan semua ini pada keluarga Kevin, terlebih jika mereka tahu bahwa penyebab kematian Kevin adalah aku.

***

Aku menatap langit yang mulai mendung dan bersiap menumpahkan air langit, sementara orang-orang yang berada di pemakaman berniat mencari tempat berteduh aku malah berdiam diri di depan makam Kevin. Tak mau meninggalkan makamnya meski hanya sedetik. Hujan yang mulai turun perlahan tak mampu mengusirku dari hadapan makam Kevin. Air mataku mengalir lagi seiring dengan bertambah derasnya hujan yang sepertinya mengerti akan perasaanku saat ini.

Selamat tinggal, Vin. Semoga kau bahagia diatas sana.